Sabtu, 26 Juni 2010

NuTriSi Bbi

POKOK BAHASAN :
PENGANTAR NUTRISI TERNAK BABI


2.1. PENDAHULUAN

TIK: Setelah menyelesaikan Kuliah ini Mahasiswa diharapkan mampu:
a. Dapat menjelaskan Perkembangan Usaha dan Segi Ekonomi Ternak Babi
b. Menyebutkan Tipe dan Bangsa Ternak babi
c. Menjelaskan konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak Babi
d. Menjelaskan program produksi ternak babi

Segi ekonomi ternak babi
Usaha peternakan babi merupakan usaha yang sudah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, namun belum ditemukan informasi tertulis, kapan sebetulnya peternakan babi di Indonesia dimulai. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa skala usaha peternakan babi sangat beragam. Di beberapa daerah seperti di Tapanuli Utara, Nias, Toraja, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Barat, dan Irian Jaya ternak babi dipelihara hanya sebagai sambilan usaha keluarga. Babi (umumnya dari jenis lokal) dilepas atau semi-dikurung dan diberikan limbah dapur dan limbah pertanian, sehingga produktivitasnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Namun, di beberapa daerah di Jawa dan Bali, sudah ada peternakan yang berskala besar sebagai penghasil bibit atau babi potong. Berkembangnya hubungan dagang dengan luar negeri telah membuka peluang bagi masuknya jenis babi unggul dan berbagai peralatan dan teknologi yang berkaitan dengan usaha peternakan babi, sekaligus membuka peluang untuk ekspor babi potong. Hal ini memungkinkan berkembangnya usaha peternakan babi ke arah yang lebih maju.

Produktivitas usaha peternakan babi dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secara internal dikenal faktor bioteknologi yang meliputi teknik pemuliabiakan, pemberian pakan dan mutu gizinya, serta cara mengelola peternakan secara umum dan pengelolaan usahanya. Faktor eksternal juga disebut faktor non teknis seperti kondisi sosial, ekonomi, kebijakan dan aturan pemerintah, serta kondisi alam lingkungan usaha. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya baik secara positif maupun negatif dengan derajat pengaruh yang berbeda yang berubah menurut waktu.

Dibandingkan dengan ternak lain, dalam usaha ternak babi terdapat beberapa sifat yang menarik dan menguntungkan sebagai berikut.
- Babi merupakan tabungan hidup yang dengan mudah dapat diatur untuk memberi pendapatan secara teratur.
- Pertumbuhannya cepat yaitu antara 0.5 – 0.7 kg perhari, sehingga dalam 150 hari dapat mencapai berat potong yaitu sekitart 100 kg.
- Ternak ini prolifik tinggi karena beranak 6 – 12 ekor per kelahiran dan dalam se tahun dapat beranak 2 kali atau lebih.
- Efisien dalam menggunakan makanan, dengan konversi pakan 2..4 – 3.4 kg per kg kenaikan bobot badan.
- Proporsi karkasnya tinggi, yaitu antara 70 – 80%.
- Dapat dipelihara dengan inensif modal sehingga biaya tenaga kerja rerlatif kecil.
- Adaptasinya terhadap berbagai tipe usaha tani responsif.
- Dapat meningkatkan daya guna hasil ikutan dan limbah agroindustri.
- Limbah usahanya berguna sebagai pupuk, gas bio dan media pertumbuhan mikroba penghasil pakan yang lain.

Melihat kenyataan menarik dari ternak babi ini maka tingkat keberhasilan usaha yang dijalankan pada dasarnya tergantung pada kemampuan pengusahanya dalam mengendalikan peranan faktor-faktor penentu dalam usaha mengeksploitasi sifat tersebut. Pada skala usaha kecil, maka usaha peternakan babi merupakan komponen usaha pertanian tanaman pangan atau usaha lain dan peternakan babi hanyalah sebagai usaha sambilan. Sedangkan pada skala usaha besar, tujuan ekonomi semakin menonjol oleh karena itu prinsip ekonomi semakin diintensifkan, sehingga pertimbangan akan pengaruh faktor internal maupun eksternal akan semakin intensif.

Kelemahan usaha ternak babi
Di samping segi-segi ekonomis yang menguntungkan, usaha ternak babi juga tak lepas dari segi-segi yang kurang menguntungkan, antara lain;
- sesuai dengan sosial budaya manusia, tidak semua orang makan daging babi, dan usaha ternak babi tidak bisa dilaksanakan disembarang tempat.
- Sesuai dengan sistem pencernaannya yang sangat sederhana (non-ruminansia), maka ternak babi harus banyak makan dari bahan konsentrat, dan hijauannya hanya dalam jumlah yang kecil.
- Ternak babi sangat peka terhadap berbagai jenis penyakit dan parasit.

2.1.1. Tipe dan bangsa babi
Peternakan babi mempunyai prospek yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan akan daging karena disamping produktivitasnya yang tinggi dan beranak banyak, cara pemeliharaannyapun mudah. Tujuan utama beternak babi adalah mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh dari penjualan stock bibit, babi sapihan dan babi potong memuaskan. Disamping itu untuk berpartisipasi aktif dalam pengadaan stock pangan nasional.
Domestikasi babi liar dan uji coba persilangan strain atau galur babi terutama sejak abad ke 17, telah menghasilkan berbagai bangsa babi yang populer sekarang. Selanjutnya dengan penemuan-penemuan baru dibidang teknik peternakan seperti di bidang makanan, perkandangan dan rekayasa genetika telah ditemukan galur babi yang mempunyai produktivitas sesuai dengan yang diharapkan.
Pada prinsipnya terbentuknya tipe dan bangsa-bangsa babi dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut.
- Pemasaran. Oleh karena tuntutan konsumen, dimasa lampau dikenal babi tipe lemak (lard type), tipe daging (meat type) dan tipe bekon (bacon type). Namun saat ini, terutama di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Kanada dan Australia, tipe lemak sudah tidak dikenal lagi karena masyarakat sudah tidak tertarik lagi oleh daging yang berlemak tinggi. Hal ini berkaitan dengan berkembangnya isu bahwa konsumsi lemak merupakan salah satu kemungkinan penyebab timbulnya beberapa penyakit seperti penyakit jantung koroner, atau pengerasan arteri pada manusia yang lebih dikenal dengan sebutan Arteriosklerosis. Dengan demikian saat ini para produsen di negara-nagara maju memusatkan kegiatan industrinya untuk menghasilkan babi dengan produksi daging yang berkualitas, sedangkan negara-negara yang sedang berkembang sudah berada pada tahap penyesuaian.
- Tujuan peternak. Dalam peternakan babi, peternak selalu menyesuaikan perusahaannya agar menghasilkan babi sesuai dengan keinginan konsumen. Jika konsumen menginginkan babi tipe daging, maka peternak akan membentuk tipe babi penghasil daging yang baik, misalnya dengan mengawinkan babi-babinya dengan pejantan penghasil daging yang baik disertai dengan pengaturan makanannya.
- Bangsa atau strain. Setiap bangsa atau strain babi akan tumbuh sesuai dengan kemampuan genetiknya
- Makanan. Faktor makanan sangat menentukan dalam mencapai suatu pembentukan tipe babi yang diinginkan. Makanan yang disajikan harus sesuai dengan tipe yang diinginkan.
- Saat pemotongan. Tipe babi yang dihasilkan oleh suatu peternakan juga erat kaitannya dengan faktor umur atau bobot badan. Babi mempunyai proporsi rangka yang relatif tinggi sebagai tempat bertautnya jaringan daging yang pertumbuhannya berlangsung terus-menerus. Penimbunan lemak tubuh berlasung belakangan (lihat gambar pertumbuhan pada bagian berikutnya). Oleh karena itu pada saat masih muda babi harus mendapat pakan yang berkualitas tinggi guna memungkinkan pertumbuhan jaringan secara maksimum.
Meskipun usaha untuk menghasilkan babi dengan produksi daging yang banyak tetap diusahakan, variasi proporsi daging dan lemak yang dihasilkan oleh seekor babi tetap tinggi karena jenis dan sistem pemberian pakan serta karakteristik masing-masing breed babi yang ada.
Dari laporan yang dapat ditelusuri, berikut ini diperkenalkan beberapa bangsa babi yang populer.
Berkshire. Babi ini dikembangkan di Bergshire (Inggris), merupakan hasil persilangan antara babi Inggris, Cina dan Siam. Babi ini bermuka lebar, moncong pendek dan warna umumnya hitam dengan warna putih pada keenam ujung tubuhnya. Babi jantan dewasa umur satu tahun mempunyai berat 150 kg dan yang betina 110 – 120 kg.
Duroc. Babi ini dikembangkan di Amerika Serikat dengan ciri berwarna merah dan merupakan hasil persilangan babi lokal Afrika atau Spanyol dan Fortugis dengan babi Tamworth. Babi jantan dewasa umur satu tahun mempunyai berat 150 kg dan yang betina 110 – 120 kg.
Hampshire dan Saddleback. Hampshire adalah babngsa babi termuda yang cepat populer. Babi ini dibentuk di Kentucky (Amerika Serikat). Babi ini berwarna hitam dengan warna putih berbetuk pita yang mengelilingi bahi dampai kaki depan. Punggungnya membentuk busur . Babi Saddleback mempunyai ciri yang hampir sama, warna hitam dengan warna putih berbentu pita lebar yang mengelilingi bahu sampai kepada kedua kaki depan.
Tamworth. Babi ini dikembangkan di Irlandia, merupakan hasil persilangan antara babi Yorkshire dengan Bergshire. Babi ini berbadan lebar dengan kaki dan moncong panjang. Babi ini berwarna merah emas hingga merah gelap.
Yorkshire atau Large White. Babi ini dikembangkan di Inggris dengan nama Large White yang setelah masuk ke Amerika dikenal dengan nama Yorkshire. Babi ini dikenal sebagai babi yang terbesar. Babi jantan dewasa beratnya mencapai 250 – 300 kg sedangkan yang betina 180 – 220 kg.
Landrace. Babi ini dikembangkan di Denmark pada tahun 1985 dan diberi nama Danis Landrace dan di Swedia disebut Swedish Landrace. Babi ini berbadan panjang. Babi jantan dewasa beratnya mencapai 250 – 300 kg sedangkan yang betina 180 – 220 kg.
Babi Indonesia. Umumnya berwarna hitam atau belang hitam (dibagian atas dan putih dibagian perut. Kepalanya kecil, moncongnya runcing dengan telinga pendek dan berdiri tegak. Perut hampir menyentuh tanah karena tulang punggung yang panjang dan lemah, serta kaki yang pendek. Beberapa bangsa babi Indonesia yang sudah terkenal misalnya babi Bali, Nias dan Sumba.
Popularitas suatu breed, apakah breed murni maupun hasil silangan sangat tergantung pada kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan produsernya. Perlu diketahui bahwa babi-babi putih seperti Large White dan Landrace lebih superior dari babi berwarna seperti Duroc dan Hamshire. Babi apakah yang akan dipelihara dalam satu usaha peternakan, jawabannya sangat tergantung pada tuntutan pasar, sehingga untuk memutuskannya diperlukan berbagai pertimbangan, terutama dalam kaitannya dengan efisiensi produksi. Untuk mendapatkan keuntungan dari kelebihan masing-masing breeds, pengusaha lebih banyak memelihara babi silangan daripada babi murni.


2.1.2. Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh
Pertumbuhan adalah aspek terpenting dalam industri peternakan babi, sebab daging yang diproduksinya dihasilkan oleh pertambahan ukuran berbagai jaringan tubuhnya. Oleh karena itu pengetahun mengenai prinsip dasar pertumbuhan sangat penting bagi yang ingin memahami produksi dan efisiensi peternakan babi.
Seperti halnya mahluk hidup lainnya ternak babi mengalami pertumbuhan (growth) yang terus-menerus, dimulai semenjak di dalam kandungan sampai menjadi dewasa. Yang dimaksud dengan pertumbuhan disini berhubungan dengan peningkatan bobot badan akibat bertambahnya berat hidup sampai berat tertentu sesuai dengan kemasakan tubuhnya. Sedangkan perkembangan (development) berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh, seperti halnya pada perubahan bentuk ambing saat babi bunting. Sehubungan dengan masa-masa pertumbuhannya, pada bagian ini akan dibahas:
- pertumbuhan sebelum lahir,
- perkembangan ukuran tubuh, dan
- pengaruh makanan terhadap pertumbuhan.

Pertumbuhan sebelum lahir.
Kehidupan babi dimulai sejak terjadinya konsepsi, yaitu saat bersatunya sel telur dengan sperma. Pada saat terjadinya konsepsi, masing-masing tetuanya akan memberikan separuh ‘faktor dalam’ kepada keturunannya, walaupun ada variasi pada masing-masing individu. Pada awal kebuntingan perkembangan fetus sangat lambat. Adanya cairan dalam uterus berfungsi sebagai pelindung terhadap segala kemungkinan, misalnya saat terjadinya suatu benturan. Pada akhir kebuntingan pertumbuhan fetus sangat cepat. Fetus semakin besar dan berat dan mendesak cairan pelindungnya. Pada proses akhir pertumbuhan, 2/3 bagian pertumbuhan tadi hanya berlangsung selama 1/3 waktu kebuntingan. Itulah sebabnya induk yang sedang bunting harus diberikan makanan dalam jumlah dan kualitas yang baik.
Banyaknya anak dalam kandungan sangat menentukan berat lahir. Apabila anak dalam kandungan jumlahnya hanya 6 ekor maka berat tiap anak akan lebih besar dibandingakan dengan induk yang anaknya lebih banyak, misalnya 12 – 14 ekor.
Pertumbuhan sesudah lahir.
Pertumbuhan anak-anak babi yang dilahirkan oleh induk yang produksi susunya banyak tentulah lebih terjamin dibandingkan anak-anak dari induk yang produksi susunya sedikit. Dengan konsumsi susu yang cukup, anak-anak tersebut akan bertumbuh lebih cepat.
Pada prinsipnya pertumbuhan anak babi dapat dibagi menjadi tiga fase.
a. Fase pertumbuhan I, yang merupakan awal pertumbuhan. Pada fase ini anak babi mengalami proses pertumbuhan yang sedang saja, sekitar 1.5 kg/ minggu.
b. Fase pertumbuhan II, adalah fase sampai dengan babi mencapai pubertas, umur 4 – 5 bulan. Pada fase ini pertumbuhan babi sangat cepat: 4 – 5..5kg/minggu.
c. Fase pertumbuhan III, yaitu pertumbuhan pada saat babi menjelang dewasa. Kecepatan pertumbuhan pada fase ini semakin melemah: 2 – 3kg/minggu.

Untuk lebih jelasnya coba perhatikanlah Gambar 1 berikut ini. Slope yang sebenarnya berbeda sesuai dengan jenis kelamin, dan kualitas makanan yang diberikan. Dari ketiga fase pertumbuhan tersebut telah dibuktikan bahwa saat pertumbuhan yang paling cepat merupakan fase yang paling efisien dalam mengkonversikan pakan untuk mencapai berat potong. Ini memberikan petunjuk bagi peternak agar betul-betul memperhatikan pemenuhan gizi babinya sesuai dengan fase-fase pertumbuhan tersebut.

Berat Dewasa


Pubertas

Babi muda

Umur
Gambar 1. Kurve pertumbuhan babi (English et al. 1988)
Perkembangan ukuran tubuh
Babi mengalami perubahan bentuk selama pertumbuhannya, anak babi bukanlah miniatur babi dewasa. Pada saat lahir, kepala, bagian bahu, dada, dan kaki berkembang dengan baik. Namun bagian-bagian tersebut proporsinya mengecil sampai babi siap potong. Pada babi yang siap dipotong bagian punggung (‘loin’) dan paha (‘hams’) berkembang lebih baik.
Pertumbuhan tubuh yang kemudian menjadi karkas terdiri dari lima jaringan utama, yaitu:
a. jaringan saraf, termasuk otak
b. tulang yang membentuk kerangka
c. urat yang membentuk daging
d. jaringan lemak
e. bagian lain, termasuk alat pencernaan, peredaran darah, pernapasan dan kulit.
Jaringan –jaringan tersebut di atas tumbuh secara teratur dan serasi. Jaringan saraf tumbuh dan berkembang sangat baik pada awal kehidupan, disusul oleh pertumbuhan tulang yang selanjutnya dibungkus oleh urat daging.

% ukuran dewasa







Waktu

Gambar 2. Urutan kedewasaan beberapa jaringan tubuh (English et al. 1988)


Pertumbuhan lemak terjadi sangat cepat pada saat babi mendekati kedewasaannya. Tabel 1. memberikan informasi berat dan proporsi jaringan tubuh saat babi lahir, umur 16 minggu dan 28 minggu. Sementara nisbah tulang : otot menurun sejalan dengan bertambahnya umur dan berat badan, nisbah lemak dan otot bertambah dengan cepat.


Tabel 1. Berat dan proporsi jaringan tubuh jaringan tubuh saat lahir, umur 16 minggu dan 28 minggu.
Berat jaringan (g)
Lahir Umur 16 minggu Umur 28 minggu
Berat kosong 1.337 36.102 100.000
Tulang 251 3.962 7.396
Otot 388 12.669 31.748
Lemak 51 7.127 34.513
Organ dalam 241 6.208 13.702
Nisbah jaringan (g:g)
Tulang/otot 0.646 0.313 0.233
Lemak/otot 0.131 0.563 1.090
Organ dalam/otot 0.621 0.490 0.397
Sumber: English et al. (1988)


2.1.3. Program Produksi
Tujuan utama dari seorang produsen ternak babi adalah mengusahakan agar diperoleh keuntungan yang memuaskan dari penjualan stok bibit, babi sapihan, babi potong. Hal ini sedikit berbeda dari peternakan yang tradisional (back yard system), yang memelihara beberapa babi untuk tabungan atau keperluan sendiri. Oleh karena keuntungan adalah tujuan utama, maka tujuan produksi harus ditentukan agar tercapai keuntungan yang maksimal.
Untuk mencapai tujuan itu produsen harus menentukan target yang ingin dicapainya, yaitu:
o Reproduksi yang efisien, maksudnya menghasilkan keturunan secara rutin dengan jumlah anak (litter) yang banyak dan kuat untuk bertahan sampai siap dipasarkan.
o Pertumbuhan yang ekonomis, maksudnya cepat pertumbuhannya dengan konversi pakan yang efisien. Konversi pakan adalah jumlah pakan yang dihabiskan untuk menaikkan 1 kg bobot badan.
o Karkas yang berkualitas prima, maksudnya babi mempunyai kemampuan untuk menghasilkan karkas dengan komposisi daging (lean), lemak (fat) sesuai dengan tuntutan pasar.
Secara ringkas target produksi tersebut tercantum pada Tabel 2.












Tabel 2. Parameter dan target produksi suatu peternakan babi komersial
Parameters Target
Average High Standar
Frequensi beranak/induk/tahun 2.2 2.35
Interval beranak (hari) 166 155
Farrowing rate (% beranak/jumlah yang dikawinkan) 85 90+
Jumlah anak dalam sekali kelahiran (litter, total) 10 11
Litter size yang hudup 9.5 10.5
Bobot yang lahir hidup (kg) >1.2 >1.4
Jumlah anak yang disapih/litter 8.5 9.5
Jumlah anak yang dipelihara/litter 8.0 9.0
Jumlah anak yang dipelihara/induk/tahun 17.5 21.5
Umur saat disapih (hari) 35 28
Rataan bobot badan saat disapih (4 weeks, kg) 6 8
Rataan bobot badan pada umur 8 minggu (kg) 15 20
Rataan bobot badan pada umur 16 minggu (kg) 50 60
Rataan bobot badan pada umur 22 minggu (kg) 80 90
Rataan kenaikan bobot badan selama hidupnya 0.548 0.600
Konversi Pakan (rataan herd) 4.5 3.5
Konversi pakan babi 45 – 90kg) 3.0 2.25
Score lemak badan (%) 70 85
Sumber : Gardner et al. 1990





2.2. SISTEM PENCERNAAN TERNAK BABI
TIK:
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan
a. dapat menggambar sistem pencernaan babi disertai dengan pemberian nama masing-masing bagian sistem pencernaan tersebut
b. dapat menjelaskan proses pencernaan zat gizi
c. dapat menyebutkan kebutuhan energi, protein ternak babi sesuai fase pertumbuhannya
d. dapat menjelaskan konsep “ideal protein”
e. dapat menjelaskan hubungan protein dan energi dalam pertumbuhan

Pada peternakan dengan skala kecil, sebagai sambilan babi dapat diberikan limbah pertanian maupun limbah rumah tangga/hotel. Sedangkan untuk suatu usaha yang lebih besar harus disiapkan ransum yang spesial disusun untuk itu.
Oleh karena biaya pakan merupakan komponen biaya produksi yang tertinggi (dapat mencapai 70 – 80% dari total pengeluaran dalam peternakan babi), peternak harus betul-betul memperhatikan status gizi dan cara pemberian pakan ternaknya agar dapat berproduksi secara efisien. Hal ini dapat dimengerti karena babi merupakan hewan omnivora (monogastric) yang memiliki perut besar sederhana dan bahan makanannya bersaing dengan ternak unggas dan manusia. Untuk menghasilkan produksi yang efisien maka perlu diketahui hal berikut ini.
o Sistem pencernaan ternak babi
o Kebutuhan zat gizi babi sesuai dengan fase pertumbuhan/produksinya.
o Cara-cara menyusun ransum
o Manajemen pemberian pakan


2.1. Sistem Pencernaan Ternak Babi

Peranan mikroorganisma terutama bakteri-bakteri sangat penting pada proses pencernaan ternak rumunansia, namun pada ternak babi pengubahan bahan makanan dari bentuk yang komplek seperti protein, karbohidrat dan lemak, ke bentuk yang sederhana sehingga siap diserap oleh tubuh merupakan hasil kerja enzim-enzim yang dihasilkan oleh alat-alat pencernaan. Bagian-bagian alat pencernaan dapat dilihat pada Gambar 3. Proses pencernaan pertama berlangsung dalam mulut. Secara fisik pemecahan bahan makanan dilakukan oleh gigi, kemudian secara enzimatik zat tepung dicerna oleh ptialin yang dihasilkan oleh kelenjar ludah. Pencernaan selanjutnya dilakukan oleh berbagai enzim pencernaan, seperti tercantum dalam Tabel 3. Salah satu sifat yang menonjol enzim adalah kesanggupannya untuk mengubah suatu bahan yang kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana sedangkan enzim tersebut tidak mengalami perubahan.






Gambar 3. Alat-alat pencernaan ternak babi
M = mulut; sebagai alat pengambil makanan dan tempat terjadinya percernaan secara fisik oleh gigi dan enzimatis oleh saliva.
K = kerongkongan sebagai tempat lewatnya makanan menuju lambung.
c = cardia, merupakan bagian depan lambung tempat dihasilkannya mukus.
F = fundus, merupakan bagian tengah lambung, tempat dihasilkannya mukus, HCl, dan dua enzim yaitu rennin dan pepsin.
p = pilorus, merupakan bagian bawah lambung yang menghasilkan mukus, sedikit enzim dan berperan untuk mengatur masuknya digesta ke duodenum.
H = hati, yang menghasilkan garam empedu untuk disimpan dalam kantong empedu.
Pan = pancreas, yang mensekresikan getah pancreas yang mengandung trypsinn chymotrypsin, carboxypeptidase, amylase, dan lipase ke dalam usus halus.
UH (Usus halus: D = duodenum, J = jejunum, I = ileum) yang dindingnya mensekresikan cairan yang mengandung laktase, maltase, sucrase, aminopeptidase, nucleotidase, dipeptidase dan nucleosidase.
S = Sekum, di dalamnya banyak terdapat mikroba menyerupai komposisi mikroba dalam rumen sapi, sehingga memungkinkan mencerna serat dalam jumlah terbatas.
UB = usus besar, disini tidak terjadi proses pencernaan, kecuali penyerapan air yang cukup intensif sehingga kotoran menjadi lebih padat.
Tabel 3. Berbagai enzim pencernaan beserta tempat kerja dan hasil akhirnya
Enzim Tempat Utama Substrat Hasil akhir
Ptialin (amilase air ludah) Air ludah Pati Dextrin, maltosa
Lipase lambung Getah lambung Lemak Asam-asam lemak, gliserol
Pepsin (protease lambung) Sda Protein Proteosa, pepton
Rennin Sda Kasein Parakasein
Amilopepsin Getah pancreas Pati, dextrin Dextrin, maltose
Karboxipeptidase Sda Peptida yang mengandung karbohidrat Asam-asam amino
Steapsin (lipase pancreas) Sda Lemak Asam lemak, gliserol
Tripsin dan kimotripsin Sda Protein, proteose, pepton, peptida Pepton, peptida, asam-asam amino
Laktase Usus halus Laktose Glukose, galaktose
Maltase Sda Maltose Glukose
Nuckleotidase Sda mononukleotida Nukleosida, asam fosfor
Nukleosidase Sda Nukleosida Purin, pirimidin, pentose
Peptidase-peptidase (erepsin) Sda Peptida Asam-asam amino
Polinukleotidase Sda Asam nukleat Mononukleotida
Sukrase Sda Sukrose Glukose, fruktose

Sumber: Eusebio 1980

2.2. Proses pencernaan
Setelah mengalami pencernaan secara fisik dan kimiawi di dalam mulut maka makanan ditelan melalui kerongkongan. Untuk menerima makanan tersebut, maka diperlukan relaksasi kardia. Pada ternak babi, maka makanan yang pertama masuk kelambung yang masih kosong akan menempati bagian pilorus, selanjutnya ditumpuki oleh makanan yang masuk kemudian sehingga lambung menjadi penuh. Pergerakan terkuat lambung adalah di daerah pilorus dan disitulah terjadinya pencampuran makanan. Umumnya makanan berada dalam lambung selama sehari penuh. Getah lambung dari bagian kardia, fundus dan pilorus mengandung enzim-enzim pepsin, lipase, HCl, dan rennin. Pepsin menghidrolisis protein apabila pH dalam lambung rendah atau asam, namun demikian pencernaan protein secara sempurna terjadi dalam usus halus.
Rennin menyebabkan koagulasi air susu dengan adanya ion Ca++. Inilah yang memperlambat aliran air susu di dalam lambung sehingga memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi enzim untuk bekerja terhadap zat-zat makanan yang ada dalam air susu.
Lipase lambung menghidrolisis lemak, namun pencernaan lemak terbanyak terjadi dalam usus halus. Asam hidroklorat (HCl) yang berasal dari fundus membantu pepsin mencerna protein. Makanan yang masuk dari lambung yang sudah mengandung kimotripsin, HCl, rennin dan lipase dinakamakan chyme yang lazimnya bersifat asam. Begitu chyme ini berkontak langsung dengan dinding usus halus, prosekretin diubah menjadi sekretin, suatu horman yang mendorong pankreas mengeluarkan getah pankreas. Hormon lain dari usus halus adalah pankreotinin yang mendorong pankreas untuk mengeluarkan getahnya lebih banyak lagi. Hormon-hormon yang terlibat dalam proses pencernaan ternak babi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Beberapa hormon yang terlibat dalam proses pencernaan
Hormon Daerah asal Sasaran dan Pengaruh utama
Gastrin Pilorus Mukosa lambung, Stimulasi sekresi asam dan air
Bulbogastron Bulbus duodenalis Lambung, menghambat sekresi dan pergerakan
Cholecystokinin-pancreatinin Usus kecil Lambung, stimulasi sekresi pepsinogen
Pancreas, Stimulasi sekresi enzim
Kantong empedu, stimulasi pengosongan
Sekretin Usus kecil Stimulasi sekresi air dan elektrolit
Pancreatic Polypeptide Pancreas Pancreas, Menghambat sekresi enzim
Kantong empedu, menghambat kontraksi
Somatostatin Hypothalamus
Pancreas
Usus kecil Menghambat sekresi hormon
Sumber : Eusebio 1980

Getah pancreas mengandung Na2CO3 dan NaHCO3 yang menetralisir asam lambung sehingga menambah keadaan alkalis yang memungkinkan sejumlah enzim berfungsi menghidrolisis protein, lemak, dan karbohidrat. Enzim-enzim seperti tripsin, kimotripsin, dan korboksipeptidase biasanya melanjutkan proses pencernaan yang telah dilakukan oleh pepsin dalam lambung. Amilase pancreas, yang juga dikenal dengan nama amilopsin mengubah pati menjadi maltose. Maltase suatu enzim dalam getah pancreas menghidrolisis maltose menjadi glukose. Enzim-enzim amilolitis pancreas yang lain adalah sukrase dan fruktase yang masing-masing menghidrolisis sukrose dan fruktose menjadi monosakharida-monosakharida.
Hadirnya chyme dalam usus halus juga mengakibatkan kelenjar-kelenjar dalam dinding usus halus untuk mengeluarkan getah usus halus yang antara lain mengandung;
a. enterokinase, yang mengaktifkan tripsinogen
b. Maltase, menghidrolisis maltose menjadi glukose
c. Sukrase, menghidrolisis sukrose menjadi glukose dan fruktose
d. Laktase, menghdrolisis laktose menjadi glukose dan galaktose
e. Peptidase, menghidrolisis peptida-peptida menjadi asam-asam amino
f. Polinukleotidase, memecah asam nukleat menjadi mononukleotida
g. Nukleotidase, menghidrolisis nukleotida menjadi nukleosida dan asam fosfor

Kontraksi otot halus dinding usus halus maupun villi membantu membantu pencernaan dan penyerapan dengan jalan memompakan cairan darah dan limfa dari pembuluh-pembuluh halus usus. Mekanisme penyerapan dapat berlangsung melalui proses difusi, osmosis, dan transpor aktif.
Makanan yang tidak tercerna dalam usus halus masuk ke sekum dan usus besar. Dalam usus besar hanya sedikit terjadi pencernaan, namun sebagian besar air dalam saluran pencernaan diserap pada bagian ini. Pada ternak babi yang dipelihara dengan makanan yang tinggi kadar serat kasarnya maka dalam sekumnya terjadi fermentasi yang dilakukan oleh bakteri seperti halnya dalam rumen sapi. Seberapa besarkah hasil yang diperoleh dari fermentasi ini, masih perlu dikaji lebih lanjut.


2.3. Kebutuhan Zat Gizi Ternak Babi

Ternak babi sangat sensitif terhadap kualitas ransum karena:
a. Pertumbuhannya cepat,
b. Kemampuan memanfaatkan makanan berserat seperti batang pisang, hijauan kering maupun dedak kasar rendah karena babi berlambung tunggal.
c. Babi biasanya dipelihara terkurung sehingga semua zat makanan yang diperlukan harus disediakan.

Kebijakan pemberian pakan sangat menentukan tingkat keuntungan peternak karena sebagian besar biaya operasi (mencapai 75-80%) digunakan untuk penyediaan pakan. Ada dua pilihan untuk penyiapan makanan babi yaitu dengan membeli pakan yang sudah jadi atau menyusun sendiri ransum yang akan diberikan. Pemberian makan jadi memang sangat praktis, namun harganya mahal sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar peternak. Sebetulnya peternak dapat menyusun sendiri ransumnya asalkan ia sudah mengetahui kebutuhan zat gisi ternaknya dan komposisi bahan pakan yang akan digunakan.

Informasi mengenai kebutuhan zat gizi kelompok babi yang lainnya dapat dilihat pada NRC (1979), Sihombing (1997) dan buku buku ternak babi yang lain. Perlu diperhatikan bahwa protein pakan haruslah mudah dicerna dan mengandung asam-asam amino esensial dalam imbangan yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk produks/pertumbuhan yang optimal.

Tabel 5. Kebutuhan zat gizi utama untuk berbagai kategori babi
Kategori Energi
(kkal DE/kg) Protein Kasar
(%) Kalsium (Ca)
(%) Fosfor (P)
(%) Lisin
(%) Met + Sis
(%)
Starter (< 20 kg) 3200 – 3500 18 0.65 0.5 0.79 0.51
Grower (20 – 50 kg) 3200 – 3500 17 0.65 0.4 0.65 0.43
Finisher (> 50 kg) 3100 – 3200 15 – 16 0.6 0.4 0.61 0.40
Induk 3200 – 3500 15 – 16 0.5 0.4 0.43 0.26
Sumber: NRC (1979)


2.3.1. Kebutuhan Energi
Babi memerlukan energi untuk hidup, tumbuh dan berkembang-biak, sama halnya dengan motor yang memerlukan sejumlah bahan bakar tertentu untuk menempuh jarak yang berbeda, babi memerlukan sejumlah energi untuk setiap fase kehidupannya.
Memang babi memakan semua energi yang ada dalam pakannya, namun tidak semuanya dapat dicerna, sebagian terbuang melalui feses dan sebagian akan hilang dalam bentuk gas.

Energi dalam pakan digunakan untuk berbagai tujuan. Pertama materi yang dimakan digunakan untuk membangun tubuh. Zat tepung, lemak dan protein digunakan untuk membentuk jaringan lemak atau membentuk glikogen, yang merupakan bahan bakar otot. Protein pakan didegradasi dan kemudian disusun kembali menjadi komponen kulit, organ dalam dan yang terpenting adalah untuk menghasilkan jaringan daging (lean meat). Disamping untuk membangun tubuh bahan pakan sumber energi juga dibakar untuk menghasilkan energi guna memenuhi aktivitas tubuh. Energi yang digunakan sebagai bahan bakar ini sebetulnya meninggalkan tubuh dalam bentuk panas, melalui keringat atau uap air saat menghembuskan napas.
Pada prinsipnya energi pakan digunakan untuk maintenan dan untuk pertumbuhan atau produksi. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk maintenan bervariasi sesuai dengan temperatur lingkungan, umur dan berat badan (Tabel 6).
Tabel ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi untuk maintenan tidak meningkat dengan proporsi tertentu dari bobot badannya, tetapi menurun sejalan dengan pertumbuhan ternak. Pada kolom ke tiga dapat dilihat bahwa energi yang dibutuhkan per kg bobot badan per hari menurun dari 0.413 MJ DE pada bobot badan 5 kg menjadi 0.136 MJ DE pada bobot 100 kg.

Tebel 6. Kebutuhan energi untuk maintenan (MJ/hari).
Bobot badan (kg) Maintanan
(MJ DE/hari) MJ DE/hari/kg BB Setara dengan berat gandum (kg)
5 2.06 0.413 0.160
10 3.20 0.320 0.248
20 4.94 0.247 0.383
50 8.81 0.176 0.683
100 13.63 0.136 1.057
150 17.60 0.117 1.364
Sumber : Eusebio 1980
Untuk babi bobotnya 100 kg diperlukan sekitar 1 kg gandum untuk memenuhi kebutuhan maintenannya. Ini didasarkan pada asumsi bahwa babi dipelihara pada lingkungan yang hangat, yang disebut dengan thermo-neutral zone. Pada cuaca dingin, babi memerlukan lebih banyak energi untuk menghangatkan tubuhnya. Jadi ia harus makan lebih banyak untuk mempertahankan pertumbuhannya.

Konsumsi energi melebihi kebutuhan maintenan tidak seluruhnya di ubah menjadi tambahan bobot badan, karena untuk pertumbuhan itu sendiri membutuhkan energi. Ternak yang sedang tubuh melepaskan lebih banyak energi ke lingkungannya dibandingkan dengan yang mengkonsumsi energi hanya untuk maintenan. Dr. Maria Kotarbinska (dalam English et al 1988), menunjukkan bahwa deposisi energi menjadi lemak sangat efisien. Untuk setiap MJ energi diretensi dalam wujud lemak tubuh (sekitar 25 g) diperlukan sekitar 1.35 MJ ME, atau sekitar 1.4 MJ DE, dengan efisiensi sebesar 74%. Sedangkan retensi energi dalam bentuk protein kurang efisien. Untuk setiap MJ energi yang diretensi dalam bentuk protein tubuh (sekitar 42 g) diperlukan 1.85 MJ ME atau sekitar 1.93 MJ DE, dengan efisiensi sebesar 54%.

2.3.2. Kebutuhan Protein
Protein adalah molekul besar yang tersusun atas beberapa unit dasar. Ternak babi memerlukan protein untuk menyusun struktur yang sangat penting dalam tubuhnya. Kadar protein tubuh bervariasi antara 15 sampai 20% dari total bobot tubuhnya, tergantung dari tingkat kegemukan dan umurnya. Untuk kepentingan diskusi ini dan yang terpenting dalam nutrisi adalah kadar protein jaringan daging (lean) yang mengandung 20% protein, 75% air, 3% lemak, 1% abu dan 1% bahan lain seperti glikogen. Bahan lain yang merupakan stuktur penting namun jarang dikonsumsi meliputi; organ dalam, jantung, paru-paru, darah dan hati, dan bagian luar seperti kulit yang merupakan organ terbesar.
Ada sekitar 20 macam Asam amino yang penyusun protein, dan protein mungkin tersususn atas ratusan bahkan ribuan asam amino dengan rantai ikatan yang sangat panjang. Yang unik ialah bahwa setiap protein dalam babi mempunyai sequens asam amino yang khas, peperti halnya huruf-huruf dalam sebuah buku. Itulah sebabnya babi memerlukan sejumlah asam amino tertentu untuk menyusun proteinnya. Sepertinya sebuah buku yang dicetak menjadi ribuan kopi, begitupula protein tubuh terdiri atas ribuan protein yang identik.

2.3.3. Konsep Protein ‘Ideal’
Memenuhi perubahan kebutuhan ternak babi moderen akan energi dan asam amino dan sekaligus meminimumkan polusi lingkungan merupakan tantangan bagi para ahli nutrisi. Untungnya, situasi tersebut telah dipermudah dengan pengembangan 2 konsep, yakni :
o adanya suatu rasio ‘ideal’ dari asam amino; dan
o rasio lisin atas energi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan babi akan protein dan energi pada berbagai fase pertumbuhan.
Penerapan konsep-konsep tersebut juga mempermudah penentuan kebutuhan ternak babi superior pertumbuhannya dan mendukung kemampuan hormon pertumbuhan dalam meningkatkan deposisi daging (daging tanpa lemak).
Salah satu kemajuan besar dalam pemahaman akan kebutuhan asam amino adalah konsep tentang adanya Protein ‘ideal’ bagi ternak babi. Suatu protein ideal mengandung semua asam amino esensial dalam imbangan atau proporsi yang tepat dan dengan imbangan yang tepat pula antara asam amino esensial dan non-esensial.
Konsep tersebut dikembangkan pada awal tahun 1950-an namun sebagian besar hilang tanpa diperhatikan. Baru pada akhir tahun 1970-an konsep tersebut diperbaiki di Inggris (misalnya dalam Agricultural Research Council (ARC. 1981). Rasio asam amino yang mula-mula lebih banyak didasarkan atas hipotesis bahwa rasio asam amino dalam jaringan daging dapat menggambarkan kebutuhan babi akan asam amino.
Dipihak lain, ARC (1981), menganjurkan agar konsep Protein Ideal dalam penerapannya lebih ditujukan pada pemeliharaan suatu imbangan minimum antara berbagai asam amino secara relatif terhadap lisin. Lisin dipilih karena asam amino ini banyak dibutuhkan dalam deposisi daging dan biasanya merupakan asam amino pertama dan pembatas utama dalam ransum berbasiskan butiran. Dalam mempertahankan rasio minimum asam amino secara relatif terhadap lisin, diasumsikan, bahwa kelebihan salah satu atau lebih asam amino esensial lainnya tidak akan mempengaruhi respon ternak babi.
Pendekatan ini telah mempermudah penyusunan ransum. Hal tersebut sangat berguna dalam memilih rasio kebutuhan lisin terhadap energi untuk tiap golongan babi, dan kebutuhan akan asam amino lainnya yang sendirinya dapat diatur. Pendekatan ini juga lebih mudah dari pada mengestimasi kebutuhan masing-masing dari 9 jenis asam amino esensial untuk berbagai fase pertumbuhan.
Konsep rasio ideal asam amino esensial (Tabel 7) secara relatif terhadap lisin merupakan salah satu kemajuan besar dalam nutrisi protein dengan berbagai alasan seperti telah disebutkan. Adanya kecenderungan bahwa ransum-ransum penelitian miskin akan asam amino, maka konsep ini juga lebih akurat dalam penelitian asam amino dibanding dengan pengujian asam amino yang hasilnya keliru. Disamping itu, konsep ini juga menyediakan dasar umum untuk membandingkan estimasi kebutuhan asam amino secara luas.

Tabel 7. Model Ideal Asam Amino yang dibutuhkan untuk Babi pada berbagai berat badan
Jenis Asam amino Pola Ideal asam amino (% dari lisin)
5 – 20 kg 20 – 50 kg 50 – 100 kg
Lisin 100 100 100
Metionin 30 30 30
Metionin + cistin 60 62,5 70
Treonin 60 67 70
Tryptophan 18 19 20
Isoleusin 60 60 60
Leusin 100 100 100
Histidin 32 32 32
Penilalanin 48 48 48
Fenilalanin + tirosin 95 95 95
Valin 68 68 68
Arginin 42 36 30
Sumber Gardner et al. 1990

2.3.4. Hubungan antar protein dan energi
Energi dibutuhkan untuk hidup pokok dan pertumbuhan, dan bila berlebihan disimpan sebagai lemak. Protein (asam amino) digunakan untuk pembentukan jaringan otot dan pergantian protein; bila berlebihan dideaminasikan, dan bagian nitrogen yang diekresikan lewat urin. Tujuan penyusunan ransum adalah untuk membentuk proporsi seimbang bagi protein dan energi untuk memaksimalkan deposisi protein, namun menekan deposisi lemak.
Hubungan antara protein dan energi digambarkan dengan baik dalam SCA (1987) yang ditampilkan pada gambar berikut. Awalnya, ada tanggapan yang linear terhadap konsumsi protein hingga energi menjadi pembatas. Pada tahap ini tidak ada peningkatan tanggapan terhadap konsumsi protein hingga energi ditingkatkan. Ketika konsumsi energi ditingkatkan, deposisi protein juga menanggapi secara linear hingga konsumsi energi menjadi pembatas.
Oleh karena itu terdapat suatu keseimbangan antara protein dan energi. Keseimbangan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yakni: fase pertumbuhan, sex, lingkungan, jumlah pemberian pakan dan hormon pertumbuhan.

Fase pertumbuhan. Kemampuan dalam deposisi protein meningkat mengikuti umur, mendatar kemudian menurun. Pada waktu muda, konsumsi energi secara normal akan membatasi deposisi protein, namun ketika babi menjadi dewasa, kemampuan deposisi protein menurun, napsu makan meningkat dan konsumsi energi melebihi kebutuhan untuk deposisi protein.



900 350 250






400 150 50

15 20 25 30 35 15 20 25 30 35 15 20 25 30 35
Intake energi (MJ DE per hari)

Gambar 2. Hubungan antara konsumsi energi dan pertambahan bobot badan, deposisi daging dan deposisi protein dan lemak (English et al. 1988)

Kelebihan energi pada umur tersebut disimpan sebagai lemak. Jadi pada babi sapihan, adalah menguntungkan pemberian makan berkulaitas tinggi (15 – 17 MJ/kg), kualitas sedang untuk babi grower (13 – 15 MJ/kg) dan dikurangi hingga 12 – 13 MJ/kg untuk finisher. Demikian juga, rasio protein adalah yang tertinggi tinggi untuk babi sapihan, kemudian dikurangi perlahan untuk grower dan finisher.

Sex. Babi jantan tulen mempunyai kemampuan deposisi daging (tak berlemak) yang lebih tinggi dibanding betina dan mungkin setara atau lebih tinggi dari pada jantan yang dikastrasi. Demikian juga, rasio lisin/energi tersedia (DE) yang dibutuhkan babi jantan tulen lebih tinggi dari pada betina dan jantan kastrasi.
Pengaruh sex biasanya tidak nyata pada anak babi sapihan. Biasanya selama fase grower perbedaan itu nampak ketika perbedaan sex menjadi semu, mungkin pada kisaran bobot badan 30 kg. Selama fase finisher, perbedaan tersebut semakin nyata, terutama karena kemampuan deposisi protein pada babi betina terlihat mendatar lebih awal dari pada babi jantan.

Lingkungan. Selama suhu lingkungan berada dibawah kebutuhan termonetral ternak babi, energi lebih banyak dibutuhkan untuk hidup pokok. Dengan demikian rasio lisin/DE yang tersedia akan lebih rendah karena kurangnya energi yang tersedia untuk merangsang deposisi protein.
Ketika suhu lingkungan diatas kisaran suhu kritis, napsu makan dapat menurun karena heat increment hasil pencernaan memperbesar beban panas. Dalam hal ini, menemukan bentuk energi alternatif mungkin berguna dalam mengurangi stres akibat panas. Lemak dan minyak menghasilkan heat increment lebih rendah dibanding serat kasar, yang difermentasikan diusus besar menjadi asam-asam lemak terbang (VFA= volatile fatty acids). Oleh karena selama masa stres karena panas, pemberian ransum dengan kandungan lemak dan minyak yang tinggi sangat bermanfaat bagi ternak.

Bangsa. Ternak dengan kemampuan pembentukan daging (tanpa lemak) yang lebih besar akam mempunyai kebutuhan rasio lisin yang tersedia /DE yang lebih tinggi dari pada babi bangsa pelemak. Genotip berpengaruh bukan saja terhadap kemampuan absolut deposisi daging, tetapi juga terhadap efisiensi deposisi protein dan bobot badan saat deposisi protein mendatar.

2.3.5. Kebutuhan Vitamin dan Mineral

Vitamin. Kebutuhan akan vitamin telah meningkat sejalan dengan perbaikan cara beternak, misalnya karena bibit yang cepat bertumbuh dengan massa daging yang tinggi atau induk yang lebih subur dalam reproduksi. Dilain pihak, pemeliharaan dalam kandang moderen (berlantai semen dan sebagainya) menyebabkan kemungkinan ber-kopropagi dari ternak yang bersangkutan berkurang, sehingga kesempatan untuk memanfaatkan vitamin yang tersintesa dalam usus besar dan keluar melalui feses sangat berkurang. Pemakaian zat-zat antimetabolit atau antibiotik juga menyebabkan sintesis beberapa vitamin dalam saluran penvernaan menurun. Demikian juga halnya dengan penyapihan yang cepat yang merupakan salah satu ciri peternakan intensif, yang kesemuanya dapat menyebabkan stress sehingga ternak menjadi lebih sensitif terhadap penyakit tertentu. Dengan cara beternak yang demikian, peternak harus lebih banyak mensuplai bahan-bahan sumber vitamin ke dalam ransumnya.
Syukurnya kemajuan teknologi sudah demikian pesat yang memungkinkan semua vitamin disintesis dan dengan mudah ditambahkan ke dalam ransum.
Mineral. Tubuh ternak mengandung sejumlah mineral, akan tetapi dewasa ini baru 15 yang secara resmi dianggap esensial yaitu 7 makro mineral (Ca, P, Na, K, Cl, Mg dan S) dan 8 mikro mineral (Cu, Co, Fe, I, Mn, Mo, Se dan Zn). Dengan semakin intensifnya sistem peternakan dalam kandang, sumber-sumber mineral dalam ransum semakin perlu diperhatikan, karena ternak babi tidak dapat mencarinya dari sumber-sumber mineral alamiah seperti tanah. Diantara mineral-mineral yang dibutuhkan, fosfor adalah yang paling mahal dan paling kritis karena:
a. Fosfor banyak dibutuhkan dalam proses-proses metabolisma. Hampir di semua proses yang ada sangkut pautnya dengan energi dalam sel yang hidup, fosfor terlibat di dalamnya.
b. Ransum yang terdiri dari serelia (biji-bijian) dan sumber-sumber protein nabati umumnya defisien terhadap fosfor untuk kepentingan seluruh kondisi fisiologis dalam hidupnya, kecuali kalau ditambah preparat-preparat yang mengandung fosfor. Fosfor dalam bahan pakan nabati ada dalam bentuk asam fitat, yang tidak larut dalam saluran pencernaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya guna fosfor dari bahan pakan yang mengandung fitat hanya sekitar 46%. Oleh karen itu dalam menyusun ransum penambahan fosfor in organik sangat diperlukan.
Untuk memenuhi kebutuhan akan mineral makro dan mikro lainnya peternak dapat menambahkan mineral premix ke dalam ransum. Premix tersebut umumnya komposisinya sudah disusun sedimikian rupa oleh pabriknya, sehingga apabila sudah diberikan sesuai dengan rekomendasinya, ternak babi tidak akan mengalami defisiensi.
Soal-soal latihan
1. Gambarlah sistem pencernaan babi disertai dengan pemberian nama masing-masing bagian sistem pencernaan tersebut
2. Jelaskanlah nasib yang dialami oleh zat gizi protein dalam saluran pencernaan ternak babi.
3. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan konsep “ideal protein”
4. Jelaskan hubungan protein dan energi dalam pertumbuhan ternak babi.


2.4. Bahan Pakan Ternak Babi

Tujuan Instruksional Khusus
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan
a. dapat menyebutkan bahan pakan apa saja yang digunakan dalam industri ternak babi
b. dapat menyebutkan contoh-contoh bahan pakan yang termasuk sumber protein dan sumber energi
c. dapat menyebutkan kendala dalam penggunaan bahan pakan lokal

2.4.1. Sumber Protein
Secara garis besarnya bahan makanan ternak babi dapat dikelompokkan menjadi bahan makanan sumber protein dan bahan makanan sumber energi. Termasuk yang pertama adalah tepung ikan, bungkil kedele, bungkil kacang tanah, bungkil biji kapas, bungkil biji bunga matahari dan susu skim. Sedangkan yang kedua meliputi dedak padi, jagung, sorghum, bungkil kelapa, ampas tahu, tepung ubi kayu, dan katul. Disamping itu ada beberapa bahan makanan yang belum banyak digunakan pada peternakan babi antara lain, tepung daun lamtoro, terung daun turi, kembang aik (duckweed) dan banyak lagi yang belum digali potensinya.
Hasil analisa laboratorium beberapa bahan pakan yang ada di Lombok dapat dilihat pada Tabel 7.1 berikut ini.
Tabel 7.1. Komposisi zat gizi beberapa bahan pakan
Bahan Bahan Kering (%) Protein Kasar (CP, %) ME*
(Kkal/kg) Kalsium
(Ca, %) Fosfor (P)
(%) Serat kasar
(%)
Ampas tahu 84.68 21.7 3100 0.67 0.42 21.5
Bungkil kelapa 91.11 21 2212 0.21 0.65 15
Tepung Ikan 90.79 66.98 2868 3 2.6 1.5
Jagung 87.5 9.5 3346 0.02 0.01 2.5
Tepung Ubi Kayu 90.05 3.14 2106 0.23 0.12 1.8
Dedak Halus 91.11 14.03 2300 0.12 1.51 12


2.4.2. Sumber Energi
Energi didefinisikan sebagai kapasitas melakukan kerja. Dalam penggunaan makanan energi diukur dengan produksi panas yang timbul dari oksidasi biokimia di dalam tubuh ternak, atau energi yang hilang melalui ekskresi tubuh. Energi diperlukan untuk memelihara jaringan tubuh dan pembentukan jaringan tubuh yang baru (pertumbuhan, kebuntingan dan laktasi).
Ransum babi biasanya terdiri dari 70 – 80% butiran sebagai sumber energi. Energi yang diperlukan tubuh dapat disupplai oleh empat zat gizi yaitu protein, karbohidrat, lemak dan serat memalui jalurnya sendiri-sendiri. Jika protein yang digunakan untuk sumber energi, tidak langsung digunakan untuk menyusun jaringan tubuh, maka sebagian dari energi total hilang karena deaminasi (proses dimana gugus amine dalam protein diputus dan dikonversikan menjadi ammonia dan urea) pertama dan nitrogen hilang melalui urin. Komponen yang tertinggal adalah karbohidrat yang equivalen dengan glukose.
Zat tepung adalah karbohidrat kompleks. Untuk menghasilkan energi ia harus dirombak melalui proses hidrolisis menjadi gula-gula sederhana yang teridiri dari unit-unit glukose. Pada prinsipnya zat tepung dan selulose tersusun atas rangkaian glukose yang sangat panjang, namun bedanya adalah pada ikatan kimia yang menghubungkan glukose-glukose tersebut. Pada zat tepung unit-unit glukose dirangkai dengan ikatan Alpha, sedangkan pada selulose dengan ikatan beta. Hal ini banyak dibahas dalam kimia organik dan tidak akan dibahas disini. Ternak babi tidak dapat mencerna selulose, tetapi mencerna zat tepung dengan sangat efisien. Pencernaan ini dilakukan dengan bantuan enzim amilase yang dihasilkan oleh pancreas. Namun amilase ini tidak aktif terhadap selulose dan serat secara keseluruhan.
Serat terdapat pada semua bahan dari tumbuhan. Satu-satunya cara ternak babi memanfaatkan serat sebagai sumber energi adalah melalui bantuan fermentasi oleh bakteria dalam saluran pencernaannya, terutama kolon dan sekum. Hasil fermentasi tersebut adalah asam organic seperti asam asetat, propionat dan asam laktat, yang kemudian diserap dan dimetabolisasikan. Namun proses ini sangat tidak efisien. Hanya 60% materi terfermentasi yeng menyediakan energi yang dimanfaatkan oleh babi. Sebagai tambahan hanya sebagian saja dari serat yang mengalami fermentasi, selebihnya terbuang sebagai bagian dari feses.
Namun keberadaan serat dalam saluran pencernaan mempunyai arti penting. Dalam jumlah kecil mempunyai pengaruh positif karena fermentasi itu menciptakan lingkungan yang sehat dalam saluran pencernaan. Hasil akhir fermentasi berupa asam laktat

Tabel 7.2. Kadar Energi beberapa bahan pakan (MJ per kg)
Bahan Pakan Gross Energy Digestible Energy
Senyawa murni
Protein (Laktalbumin) 23.8
Corn Starch 18.5
Sucrose (Tebu) 16.5
Fat (anhydrous lard) 39.5
Cereals
Barley 16 12.9
Maize 15.3 14.1
Wheat 15.8 13.9
Oats (whole) 17 10..9
Oats (naked or groat) 17.5 15.4
Sorghum 16.5 14.4
Rice 17.5 16.0
Cereal by-products
Wheat bran 16.6 10.0
Rice bran 14.8 9.6
Other energy sources
Cassapa (tapioca) 14.6 14.0
Corn oil
Molasses (75% DM)
Soya oil 39
12.7
39 35.0
10.3
35.0
Tallow 39 34.5
Animal Protein
Fishmeal (white) 10.8
Fishmeal (herring) 11.5
Meat and bone meal (5% oil) 10.0
Meat and bone meal (10% oil) 12.0
Dry skimmed milk 15.8
Vegetable Protein
Faba bean 12.6
Rapeseed meal (oil extracted) 12.1
Rapeseed (whole) 16.1
Soya bean (raw) ?
Soya bean cooked full-fat
Extracted meal 44
Extracted dehulled 50
Sunflower (extracted decorticated ) 16.9
15.0
16.0
12.5
Sumber: English et al. 1988

menghambat perkembangan bakteri penyebab penyakit. Hal lain adalah karena serat menyerap air dan melancarkan aliran digesta dan bahan yang tidak tercerna sehingga mencegah terjadinya mencret, konstipasi dan prolase rektum. Aspek negatif konsumsi serat terutama bila jumlahnya banyak adalah menurunnya pencernaan protein, lemak dan zat gizi lainnya, menurunkan nafsu makan sehingga pertumbuhan terhambat. Perbandingan nilai energi beberapa bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 9.

2.4.3. Penggunaan Bahan Pakan Lokal dalam Ransum
Biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam industri peternakan. Ketersediaan bahan pakan terutama konsentrat yang terbatas dibandingkan dengan kebutuhan ternak dan manusia dan ternak yang membutuhkannya menyebabkan Indonesia harus mengimpor dengan harga relatif mahal dibandingkan dengan bahan pakan lokal.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan pakan di tanah air. Salah satunya yang akan di uraikan dalam dalam tulisan ini adalah yang berkaitan dengan penggunaan bahan-bahan lokal sebagai komponen ransum. Mengingat pengertian bahan pakan lokal sangat luas, maka dalam artikel ini hanya diuraikan bahan pakan yang potensial yaitu yang peroduksinya banyak dan diharapkan dapat mengatasi masalah penyediaan pakan saat ini.
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan bahan pakan lokal.
Bahan pakan lokal selalu dikaitkan dengan harga yang murah. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum digunakan dalam menyusun ransum, misalnya; jumlah dan kontinuitas ketersediaannya, kandungan zat gizinya, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi, dan kemungkinan diperlukannya pengolahan sebelum digunakan sebagai bahan penyusun ransum.
Ketersediaan bahan pakan di suatu daerah perlu diketahui untuk menentukan nilai ekonomisnya. Informasi ini sangat penting dalam menyusun perencanaan ransum yang akan dibuat, volume produksi dan biaya produksinya. Bahan pakan yang berupa limbah pertanian umumnya bersifat amba atau “bulky”. Hal ini akan menimbulkan masalah dalam transportasi bahan tersebut. Jika hasil limbah pertanian di suatu daerah sedikit jumlahnya, biaya pengangkutannya akan tinggi, walaupun ditempat diproduksinya bahan tersebut sangat murah harganya.
Informasi mengenai kandungan zat gizi bahan pakan sangat diperlukan dalam menyiapkan formula suatu ransum sesuai dengan kebutuhan ternaknya. Untuk konsentrat, maka informasi yang diperlukan adalah kandungan bahan kering, protein kasar, serat kasar dan kandungan energi metabolis untuk non ruminansia serta energi tercerna untuk ruminansia. Untuk unggas dan nonrumiansia lainnya, informasi mengenai kandungan kalsium (Ca) dan fosfor (P), serta komposisi asam amino esensialnya juga diperlukan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisa laboratorium terhadap bahan lokal yang tersedia. Jika ada hambatan karena biaya analisa yang tinggi terutama untuk asam amino, maka data yang sudah dilaporkan atau dipublikasikan dapat dijadikan acuan, walaupun telah disadari bahwa kandungan zat gizi bervariasi sesuai dengan keadaan wilayah produksi, musim dan proses yang dipergunakan sampai dihasilkannya limbah tersebut. Jadi perlu dicermati apakah bahan yang diproduksi itu perlu dianalisa kandungan zat gizinya atau tidak.
Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan mengenai kandungan zat anti nutrisi. Untuk bahan-bahan yang sudah banyak diteliti umumnya informasinya sudah tersedia. Misalnya, adanya ‘trypsin inhibitor dan chymotrypsin inhibitor’ dalam biji kedele mentah menyebabkan ganguan pencernaan dan menghambat pertumbuhan unggas atau babi yeng mengkonsumsinya. Serat kasar yang tinggi dapat menurunkan konsumsi ransum dan kecernaan zat gizi pada unggas maupun babi. Sehubungan dengan adanya zat anti nutrisi tersebut, beberapa bahan perlu dilakukan pengolahan. Biji kedele, misalnya, perlu diberi perlakuan panas sebelum menggunakannya sebagai komponen penyusun ransum. Daun singkong perlu dilayukan atau dikeringkan untuk menurunkan kandungan HCN (asam sianida). Sebagai tambahan, percobaan-percobaan biologis untuk mengetahui apakah suatu bahan pakan mengandung zat anti nutrisi atau tidak perlu dilakukan (Wiryawan and Dingle, 1995).

2.4.4. Beberapa bahan pakan lokal yang berpotensi
A. Dedak padi.
Pemanfaatan dedak padi sebagai bahan pakan sudah umum dilakukan, karena dedak padi merupakan sumber energi dan protein yang baik. Kandungan zat gizinya sangat bervariasi sesuai dengan jenis padi dan proses penggilingannya. Disamping itu di saat ketersediaannya terbatas ada kecendrungan pemasok mencampurnya dengan sekam yang digiling sehingga kadar seratnya meningkat. Hasil analisa empat sampel dedak yang dilakukan oleh Creswell (1987) menunjukkan bahwa kadar protein kasarnya berkisar antara 12.7 – 13.5%, lemak 10.6 – 13.6, serat kasar 8 – 12.2%. Disarankan agar penggunaan dedak dalam ransum broiler tidak lebih dari 10%, dan maximum 20% untuk ransum ayam petelur. Namun penggunaan 30% dedak dalam ransum petelur banyak dilakukan oleh peternak, bahkan penggunaan sebanyak 50% dalam ransum petelur masih bisa dilakukan asalkan diberikan suplementasi mineral Zn (Piliang dan Manalu, 1988). Untuk ayam buras yang sedang bertumbuh, Natamijaya, dkk. (1992) melaporkan bahwa penggunaann dedak sampai 50% dalam ransum dapat dilakukan asalkan ransum diberikan suplemen kalsium yang cukup. Namun, perlu diketahui bahwa dedak mengandung asam fitat yang dapat menghambat ketersediaan mineral. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan dengan baik jika ingin menggunakan dedak dalam jumlah yang tinggi dalam ransum non ruminansia. Untuk ruminansia dilaporkan bahwa penggunaan dedak sebagai suplemen untuk menggantikan 30% bahan kering rumput pada sapi bali memberikan pertumbuhan yang baik (Nitis dan Lana, 1983). Selanjutnya Soedarsono, dkk. (1991) melaporkan bahwa penggunaan 45% dedak dalam konsentrat domba yang digemukkan memberikan pertumbuhan yang sangat baik.

B. Bungkil kelapa (Copra meal)
Bungkil kelapa adalah bungkil yang diperoleh setelah minyak dari kelapa kering diekstraksi, dengan kadar protein antara 18 –23% (Creswell, 2005). Kandungan protein tersebut berbanding terbalik dengan kandungan minyaknya. Bungkil kelapa yang kadar minyaknya 1%, misalnya mengandung 22 – 23% protein, sementara yang kadar minyaknya 10 – 12% mengandung protein 17 – 19%. Penggunaannya dalam ransum non ruminansia dibatasi karena rendahnya kadar asam amino lisin, dan tingginya kadar serat kasarnya (Ravindran and Blair, 1992). Menurut Hutagalung (1978), penggunaannya dalam ransum unggas di Malaysia hanya 4%, sedangkan untuk Indonesia, penggunaannya dalam ransum broiler disarankan agar tidak lebih dari 15% (Creswell dan Zainuddin, 1979).
Hasil-hasil penelitian mengenai penggunaan bungkil kelapa dalam ransum itik sangat bervariasi, dan rekomendasi yang diberikanpun berbeda. Scott and Dean (1991) melaporkan bahwa penggunaan 10% bungkil kelapa dalam ransum itik yang sedang tumbuh sudah menimbulkan kematian. Sementara Sinurat dkk. (1998) dan Setiadi, dkk. (1995) menyatakan bahwa pemberian sampai 30% tidak mempengaruhi pertumbuhan itik muda maupun itik petelur. Variasi tersebut erat sekali dengan pekanya itik terhadap kontaminasi aflatoksin yang sering terjadi pada bungkil kelapa.
Untuk ternak babi, Creswell (2005) merekomendasikan penggunaan bungkil kelapa yang disesuaikan dengan fase pertumbuhan atau produksi, berturut-turut untuk prestarter, starter, grower, finisher, gestation dan lactation adalah; 5, 10, 10, 20, 25, dan 20%. Rekomendasi tersebut diberikan dengan asumsi kandungan aflatoksin dan kecernaan protein maupun lisinnya relatif rendah.
Pemberian bungkil kelapa kepada ruminansia lebih aman walaupun proporsinya lebih tinggi dari non ruminansia. Siregar dan Hasanah (1986) memperoleh hasil yang baik dengan memberikan 32% bungkil kelapa dalam ransum sapi. Bahkan penggunaan sampai 50% dalam konsentrat sapi PO memberikan pertumbuhan 459 g/e/h (Sudjana, dkk. 1983).
C. Limbah singkong
Ada dua jenis limbah singkong yang dapat dijadikan konsentrat, yaitu onggok dan daun singkong. Onggok adalah sumber energi yang baik dengan kandungan TDN sebesar 82.7%, dan daun singkong merupakan sumber protein dengan kadar protein kasar 21 – 30% dari bahan kering (Sudaryanto, 1992). Hasil yang lebih baik diperoleh bila limbah singkong diberikan perlakuan khusus sebelum digunakan untuk menyusun ransum, karena baik umbi maupun daun singkong mengandung zat anti nutrisi yang dikenal dengan nama asam sianida, yang pada daun segar kadarnya mencapai 400 –600 ppm.
Penelitian pada domba menunjukkan bahwa pemberian 30% daun singkong yang sudah dikeringkan pada suhu 700C selama 45 menit tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan (Sudaryanto, 1992). Sementara Mathius, dkk. (1983) dan Sitorus (1987) menyarankan agar daun singkong dilayukan selama 24 jam, dan diberikan sampai 2% bobot badan domba dan kambing. Pemberian onggok dalam konsentrat sapi perah dan domba masing-masing 27% dan 20% memberikan pertumbuhan yang baik (Basya, dkk. 1990).
Pada babi dan itik pedaging, pemberian tepung daun singkong kering dapat diberikan sampai 10% dalam ransum (Wang, dkk. 1992), namun untuk broiler jumlah tersebut ternyata menghambat pertumbuhan (Sinurat, dkk. 1994). Oleh karena itu disarankan agar pemberian tepung daun singkong pada broiler tidak lebih dari 5%, kecuali yang sudah diolah dengan teknologi fermentasi.
Penggunaan onggok dalam ransum non ruminansia dibatasi oleh rendahnya kadar proteinnya. Aritonang dan Silalahi (1992) menyarankan agar penggunaan onggok dalam ransum babi tidak lebih dari 10%. Untuk ayam ras penggunaan onggok umumnya dibatasi sampai 5% (Anonymous, 1998).
D. Limbah sawit.
Dengan semakin berkembangnya perkebunan sawit, maka potensi limbah hasil pengolahan buahnyapun semakin tinggi. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan sawit ada dua macam yaitu bungkil inti sawit (BIS) dan lumpur sawit. Walaupun kandungan protein kasarnya cukup tinggi (16%), penggunaan BIS dalam ransum non ruminansia harus dibatasi karena kandungan seratnya cukup tinggi yaitu sekitar 20%. Kamal (1983) melaporkan bahwa broiler dapat diberikan sampai 10% BIS dalam ransumnya. Untuk itik (Sinurat, personal communication) menyatakan bahwa BIS dapat digunakan sampai 20%, dan untuk babi, Farrel (1986) menyatakan bahwa BIS dapat diberikan sampai 30% dalam ransum. Menurut Ginting, dkk. (1987), suplementasi BIS hingga 1.35% bobot badan domba memberikan bobot badan lebih baik dibandingkan yang diberikan hanya rumput lapangan.
Sutardi (1991), dari hasil penelitiannya yang mensubstitusi dedak dengan lumpur sawit menyatakan bahwa lumpur sawit dapat menggantikan dedak dalam konsentrat sapi perah, dan untuk ternak domba dilaporkan bahwa penggunaan 0.9% bobot badan domba memberikan pertumbuhan yang lebih baik (Handayani, dkk. 1987). Peluang untuk meningkatkan penggunaan BIS maupun lumpur sawit terbuka bila limbah ini diolah dengan teknologi fermentasi.
E. Jagung
Jagung merupakan bahan pakan yang paling banyak digunakan dalam ransum non ruminansia. Bahan ini banyak diproduksi di dalam negeri, misalnya pada tahun 2003 produksinya mencapai 10.886.442 ton, tetapi pada tahun yang sama Indonesia mengipor sebanyak 2.119.929 ton (BPS. 2004). Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan jagung lokal sebagai komponen ransum adalah karena produksinya yang tidak kontinu sepanjang tahun dan dihasilkan di daerah yang relatif jauh dari industri pakan. Disamping itu jagung merupakan media pertumbuhan jamur yang baik sehingga kemungkinan kontaminasi oleh aflatoksin sangat tinggi jika pengeringan dan tempat penyimpanannya kurang baik.
F. Kacang-kacangan (legum)
Legum adalah bahan makanan yang sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Walaupun pemanfaatan legum dalam pakan unggas dan babi utamanya sebagai sumber protein legum juga merupakan sumber energi yang potensial. Kadar proteinnya berkisar antara 20 – 38% (Tabel 1), tergantung pada jenis atau varietasnya. Sebagai contoh, kandungan protein kecipir jauh lebih tinggi dari kacang yang lain dan hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kandungan protein kacang gude. Namun ini bukan berarti bahwa legum yang kadar proteinnya lebih tinggi nilai gizinya lebih baik dari yang kadar proteinnya lebih rendah, karena kualitas protein legum tidak hanya ditentukan oleh kandungan proteinnya saja, tetapi juga oleh keseimbangan asam amino dan kandungan zat antinutrisinya.
Kadar energi metabolis (ME), pada unggas bervariasi dari 8 MJ kg-1 untuk kacang gude (Cajanus cajan) sampai 12.7 MJ kg –1 untuk kacang hijau. Kadar energi tercerna (DE) yang diukur pada babi bervariasi dari 13.5 sampai 15.87 MJ kg-1(Tabel 2). Jika di asumsikan bahwa nilai ME pada babi adalah 94% dari DE nya (Visitpanich et al., 1985) maka nilai ME legum pada babi lebih tinggi daripada nilai ME nya pada unggas. Hal ini disebabkan karena kemampuan babi untuk memanfaatkan produk fermentasi berupa asam lemak terbang yang dihasilkan dalam saluran pencernaan, utamanya dalam kolon, sebagai sumber energi lebih efisien dibandingkan dengan ternak unggas.
Tabel 1. Komposisi kimia beberapa leguminose (% bahan kering)
Protein kasar Lemak Serat kasar Abu Bahan ekstrak tanpa N Ca P
Kacang Buncis (P. vulgaris) 24 2.0 4 4 66 0.25 0.4
Kacang Tunggak
(V. unguiculata) 25 1.5 4 3 66.5 0.10 0.4
Kacang polong (V. Sinensis) 25 1.5 6 4 63.5 0.10 0.3
Kacang hijau (P. aureus) 24 1.5 5 4 63.5 0.20 0.4
Kacang gude (Cajanus cajan) 20 2.0 8 4 66 0.15 0.3
Bungkil kedelai 49 0.7 5.3 7.1 37.1 0.25 0.86
Kacang kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) 38 15 12 4 31 0.3 0.3
Sumber: Ravindran and Blair (1992)


Tabel 2. Nilai ME dan DE dari beberapa jenis legum.
Legum Acuan AME
(Unggas)
MJ kg-1 DE
(Babi)
MJ kg-1
Kacang Tunggak Evans (1985)
Fialho, Albino and Blume (1985) 12.26
- 13.5
14.59

Kacang kara (Dolichos lab lab) Evans (1985) 11.68 13.5
Kacang Hijau Creswell (1981)
Evans (1985)
Wiryawan et al. (1997) 12.7
11.70
- -
15.5
15.87

Kacang merah (P.vulgaris) Evans (1985) 9.75 14.2
Kacang Gude/lebui/undis Fialho et al. (1985)
Visitpanich et al. (1985)
Tangtaweewipat and Elliot (1989) -
-
8.0 14.28
15.1
-

Bungkil kedelai* Evans (1985)
Johnson and Eason (1990) 10.67
9.46 14.2
-
metabolizable energi; DE = digestible energi; AME = apparent metabolizable energi;
Solvent extracted

Kadar asam amino (AA) legum bervariasi baik antara jenis maupun antara varietas. Bahkan varietas yang sama yang ditanam ditempat berbeda menunjukkan kadar AA yang berbeda pula. Apabila kebutuhan AA dari ayam pedaging, ayam petelur (NRC, 1994) dan Babi (NRC, 1988) dibandingkan dengan kadar AA legum maka legum merupakan sumber lisin yang baik untuk non ruminansia. Namun, untuk kedua jenis ternak tersebut metionin merupakan AA pembatas yang pertama dan triptofannya sangat marginal. Jadi seandainya pakan disuplementasi dengan methionine, maka legum adalah alternatif pengganti bungkil kedele yang potensial dalam pakan non ruminansia.
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pemberian legum dalam jumlah tertentu dan tanpa diolah terlebih dahulu berakibat pada menurunnya produksi dan efisiensi penggunaan pakan akibat adanya zat anti nutrisi. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan pengaruh negatif dari zat antinutrisi tersebut. Kadar tannin dapat dihilangkan dengan cara menghilangkan kulit bijinya karena tannin hanya terdapat dalam kulit biji. Akan tetapi, cara yang paling banyak dilakukan untuk meningkatkan kualitas legum sebagai pakan adalah dengan pemanasan (Wiryawan and Dingle, 1999). Pemanasan merupakan cara yang baik untuk mengurangi aktivitas lectins, trypsin dan chymotrypsin inhibitors, sehingga secara umum meningkatkan nilai gizi legum. Namun, melakukan pengolahan untuk meningkatkan nilai gizi legum berarti menambahkan biaya produksi, padahal peternak harus berusaha mengurangi biaya produksi. Oleh karena itu pengurangan pengaruh negatif zat antinurisi yang terdapat dalam legum yang belum diolah dapat dilakukan dengan membatasi pemanfaatannya dalam pakan sampai pada tingkat yang aman (Tabel 3).

Tabel 3. Tingkat penggunaan leguminose dalam pakan unggas dan babi
Leguminosa Level pemberian (%)
Kacang Buncis (P. vulgaris) 5 – 10
Kacang Tunggak (V. unguiculata) 5 – 15
Kacang polong (V. Sinensis) 10 – 25
Kacang hijau (P. aureus) 10 – 25
Kacang Gude (Cajanus cajan) 10 – 15
Bungkil kedelai Tidak ada batas
Kacang kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) Tidak lebih dari 5%
Kacang kara Tidak lebih dari 5%
Sumber : Wiryawan (2002)

Ketersediaan bahan pakan konsentrat yang terbatas menyebabkan Indonesia harus mengimpor bahan pakan yang harganya relatif mahal dibandingkan dengan bahan pakan lokal. Beberapa bahan pakan lokal seperti dedak padi, bungkil kelapa, limbah singkong, limbah sawit, jagung, dan legum berpotensi dan sudah diteliti kemungkinan tingkat penggunaannya dalam ransum unggas, babi dan ruminansia.




2.5.. Manajemen Pemberian Pakan
Ada dua cara pemberian pakan pada babi yaitu wet feeding dan dry feeding. Wet feeding adalah memberian pakan dalam bentuk basah yakni konsetrat dan air dicampurkan. Keuntungan cara ini adalah; meningkatkan konsumsi, waktu makan lebih pendek, lebih praktis, dan tidak menimbulkan iritasi pada mata. Sedangkan dry feeding adalah pemberian pakan dalam keadaan kering (konsentrat dan air terpisah). Keuntungannya adalah konsumsi yang merata sehingga pertumbuhan ternak uniform, jika ada sisa pakan tidak cepat membusuk, dan penggunaan tenaga kerja lebih efisien.

Pemberian pakan babi bibit. Semua usaha yang dilakukan dalam pemberian pakan diarahkan kepada pencapaian target produksi. Makanan yang layak perlu diberikan kepada babi bibit untuk memaksimalkan produktivitas dan keuntungan.

Pemberian makan babi dara. Disarankan agar babi dara diberikan pakan secara ad libitum ransum yang mengandung 14% protein sejak dipilih pada bobot 65 – 70 kg hingga saat akan kawin. Setelah kawin makanan agar dikurangi menjadi maksimum 2.3 kg per hari.

Pemberian makanan induk selama bunting dan awal laktasi. Selama bunting induk biasanya diberikan ransum secara terbatas, yaitu 1.8 – 2.3 kg per hari. Keuntungan pembatasan pemberian ransum selama bunting antara lain:
a. embrio yang hidup meningkat,
b. kesukaran saat melahirkan berkurang,
c. lebih jarang anak yang mati tertindis induk,
d. biaya ransum berkurang,
e. kejadian mastitis berkurang,
f. jangka waktu produktif diperpanjang.

Pemberian makanan selama laktasi. Induk laktasi harus diberikan makanan sepenuh kebutuhannya, dan ini tergantung pada banyaknya anak yang disusukan. Sebagai patokan, induk diberikan 2 kg ransum ditambah 0.5 kg bagi setiap anak. Misalnya induk yang menyusukan 10 ekor harus diberikan sebanyak 7 kg makanan perharinya.

Nutrisi Babi Lepas Sapih

Komposisi zat gizi pakan starter untuk anak babi umur 4 – 28 hari tertera pada tabel berikut:

Digestible Energy (DE, MJ/kg) 14.3
Crude Protein (%) 24
Digestible Crude Protein (%) 20
Lysine (%) 1.3
Meth./Cyst (%) 0.7
Calcium (%) 1.1
Phos. (%) 0.9
Crude Fibre (%) 3
Ether Extract (%)` 5

Sistem pencernaan babi yang sedang menyusu hanya dipersiapkan untuk mencernakan laktose, casein dan lemak yang mudah dicerna. Oleh karena itu pakan krip haruslah mudah dicerna oleh anak babi, palatabel, kandungan proteinnya tinggi dan tidak terkontaminasi. Pakan krip umumnya terbuat dari susu bubuk (casein and laktose), sereal yang dimasak, jagung atau kedele. Bahan pemanis mungkin ditambahkan untuk memperbaiki palatabilitasnya.

Tabel 7.3. Komposisi makanan krip
Bahan Persen
Gandum terigu (wheat) 25.00
Jelai (barley) 15.80
Gandum haver (oat) 25.8
Minyak domba/sapi (minyak telo) 3.00
Bungkil kedele 11.00
Tepung Ikan 6.40
Wei kering 10.00
Garam dapur berjodium 0.40
Kalsium fosfat 1.00
Kalsium karbonat 0.65
Minertal-vitamin premix 1.50
Lisin –HCl 0.25

Komposisi nutrisi
Protein (%) 20.00
Energi (DE, Kkal/kg) 3349.00
Ca (%) 0.95
P (%) 0.76
Lisin 1.20


Pemberian makanan saat penyapihan. Banyaknya makanan yang diberikan adalah 2.5 – 3.5 kg menyebabkan kawin kempali 12 – 9 hari setelah penyapihan.

Pemberian makanan babi menyusu. Air susu induk adalah makanan utama anak babi, namun setelah minggu ke tiga produksi susu induknya mulai menurun. Oleh karena itu introduksi makanan krip akan sangat membantu bagi perkembangan anak babi selajutnya. Keuntungan memberikan makanan krip (makanan babi yang masih menyusu) adalah sbb:
a. anak lebih berbobot saat disapih,
b. kondisi badan induk lebih baik saat disapih,
c. memperkecil hambatan pentumbuhan anak lepas sapih.

Komposisi makanan krip dapat dilihat pada tabel 7.3, dan diperkenalkan sedikit demi sedikit sejak anak berumur 7 hari. Perlu diperhatikan agar penyajian ransum krip tetap segar. Kelebihan pemberian menyebabkan adanya sisa yang berpeluang untuk menjadi basi dan dikerumuni lalat. Jadi diusahakan agar diberikan sedikit tetapi sering. Perlu juga disiapkan air minum melalui pentil (nipple) agar mereka tidak stress saat disapih

Pemberian makanan anak babi lepas sapih. Bagi anak babi yang disapih pada bobot 5 – 10 kg, dianjurkan ransumnya mengandung 20% protein dan diberikan ad libitum.

Pemberian makanan babi bertumbuh-pengakhiran.
Setelah anak babi mencapai bobot badan 20 kg sudah ada harapan sekitar 98% ia hidup samapi mencapai bobot badan 90-100 kg.

Dari semua faktor itu, keefesienan penggunaan pakanlah (Konversi pakan) yang paling menentukan keuntungan karena sebagian besar biaya operasi digunakan untuk menyediakan pakan. Untuk mendapatkan konversi pakan yang baik maka ransum harus mengandung zat gizi sesuai dengan kebutuhan dan tersedia secara seimbang.

Soal-soal latihan
a. Sebutkan empat bahan pakan sumber protein dan empat bahan sumber energi dalam industri pakan babi
b. Jelaskan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan bahan pakan lokal
c. Sebutkan batasan penggunaan bahan pakan lokal untuk ternak babi.



Daftar Bacaan
AAK, 1981. Pedoman Lengkap Beternak Babi. Yayasan Kanisius
Anonymous, 1998. Untung rugi menggunakan pakan alternatif. Infovet, Edisi 058. Hal. 20 – 22.
Aritonang, D. dan Silalahi, M. 1992. Pengaruh pemberian onggok dalam dua taraf protein ransum terhadap performan babi penggemukan. Pros. Agroindusti Peternakan di Pedesaan. Hal. 104-114. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Blakely, J. And Bade, D.H. 1985. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press.
Cameron, R.D.A. 1993. Note on Pig management and Nutrition. Materi short course in non-ruminant production.
Creswell, D. 1987. A survey of rice by-product from different countries. Monsanto Technical Symposium pp. 4 – 35.
Creswell, D. 2005. Copra meal in pig diets. Asian Pork. Journal, April/May: 24 – 26.
Creswell, D. dan Zainuddin, D. 1979. Bungkil kelapa dalam ransum untuk ayam pedaging. Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan II. Puslitbangnak, Bogor. Hal. 177.
English, P.R., Fowler, V.R., Baxter, S. and Smith, B. 1988. The Growing and Finishing Pig: Improving Efficiency. Farming Press.
Evans, M.E. 1985. Nutrient Composition of Feedstuffs for Pigs and Poultry. Queensland Department of Primary Industries, Pub. No Q15001, Brisbane.
Farrel, D.J. 1986. Some observations on the utilization of agricultural by-product in non-ruminant feeding systems in South East Asia. Proc. 8th Ann. Conf. MSAP. University Pertanian Malaysia, Selangor, pp. 18-24.
Fialho, E.T., Albino, L.F.T. and Blume, E. 1985. Chemical composition and energy values of some feeds for pigs. Pesquisa Agropecuaria Brasileira 20: 1419-1431.
Hutagalung, R. I. 1978. Non traditional feedingstuffs for livestock. In: Feedingstuffs for Livestock in South East Asia. (Devendra, C. and R.I. Hutagalung, Eds). Malaysian Society of Animal Production, Serdang. Malaysia.
Johnson, R.J. and Eason, P.J. 1990. Effect of dietary inclusion of field peas, lupins, narbon beans and chickpeas on the growth performance of broiler chickens. Proceedings of the Australian Poultry Science Symposium 2: 96-99.
Jull, M. A. 1978. Poultry Husbandry. 3rd ed. McGraw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
Kamal, M. 1983. Pemanfaatan bungkil kelapa sawit sebagai bahan pakan ayam pedaging. Proc. Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. . LKN-LIPI, Bandung. Hal. 52 – 57.
Listyowati, E dan K. Rospitasari, 1995. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mathius, W., Djajanegara, A. dan Rangkuti, M. 1983. Pengaruh penambahan daun singkong (Manihot utilisima, Pohl) dalam ransum domba. Ilmu dan Peternakan 1: 57 – 61.
McDonald, P., Edwards, R.A. and Greenhalgh, J.F.D. 1988. Animal Nutrition 4th Edition. Longman Scientific & Technical, New York.
Natamijaya, A.G., Sinurat, A.P., Habibie, A., Yulianti, Nurdiani, Suhendar dan Subarna. 1992. Pengaruh penambahan kalsium terhadap anak ayam buras yang diberi ransum komersial dicampur dengan dedak padi. Pros. Agroindusti Peternakan di Pedesaan. Hal. 400 – 406. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Nitis, I. M. dan Lana, K. 1983. Pengaruh suplementasi beberapa limbah industri pertanian terhadap pertumbuhan sapi bali. Pros. Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. LKN-LIPI, Bandung. Hal. 157 – 162.
NRC. 1988. Nutrient Requirements of Swine, 9th Rev. Edn. National Academy Press. Washington, D.C.
Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press.
Sinurat, A.P., Darma, J., Haryati, T., Purwadaria, T., and Dharsana, R. 1994. The use of fermented cassava leaves for broiler. Procs. 7th AAAP Animal Sci. Congress. Vol.II Bali, Indonesia, pp. 152-153.
Sinurat, A.P., Purwadaria, T., Habibie, A., Pasaribu, T., Hamid, H., Rosida, J., Haryati, T. dan Sutikno, I. 1998. Nilai gizi bungkil kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar fosfor yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3: 15 – 21.
Tangtaweewipat, S. and Elliott, R. 1989. Nutritional value of pigeon pea (Cajanus cajan) meal in poultry diets. Animal Feed Science and Technology 25: 123-135.
Visitpanich, T., Batterham, E.S and Norton, B.W. 1985. Nutritional value of chickpea (Cicer arietinum) and pigeon pea (Cajanus cajan) meals for growing pigs and rats. 1. Energy content and protein quality. Australian Journal of Agricultural Research 36: 327 - 335.
Wang, Z., Xia, Z., Shi, J., Zhou, X., Wang, Z. and Chen, S. 1992. Studies on effects of cassava leaf meal used as ingredient in diets of growing-finishing pigs and meat type ducks. Procs. 6th AAAP Animal Science Congress, Bangkok, p. 190.
Whittemore, C.T. 1980. Pig Production, the scientific and practical principles. Longman Handbooks in Agriculture.
Wiryawan, K. G. 2002. Leguminosa sebagai sumber energi dan protein ternak non ruminansia. ORIZA Vol.I/No.2. Juli 2002, pp. 111 – 120.
Wiryawan, K.G. and Dingle, J.G. 1995a. Screening test of the protein quality of grain legumes for poultry production. British Journal of Nutrition 74: 671-679.
Wiryawan, K.G. and Dingle, J.G. 1999. Recent research on improving the quality of grain legumes for chicken growth. Animal Feed Science and Technology 76: 185-193.
Wiryawan, K.G., Miller, H.M. and Holmes, J.H.G. 1997. Mung beans (Phaseolus aureus) for finishing pigs. Animal Feed Science and Technology 66: 297 - 303.